2013/04/03
Cerpen: Kado Untuk Ibu
Posted on 16.17 by Katak
Bayangan pohon kamboja yang berbunga jarang namun berdaun lebat membuat tubuhnya terlindungi dari terik sore matahari. Matahari sore selalu membuat kunang-kunang lebih cepat muncul di matanya setiap dia berjongkok di sisi gundukan tanah yang di dalamnya tersimpan jasad ibu. Beruntung, terpaan sinar matahari dari arah barat membuat tempatnya berjongkok kali ini terasa lebih teduh.
Memang ada yang tidak biasa dari ziarahnya kali ini. Jika biasanya dirinya ziarah karena memang sudah menjadi kewajibannya sebagai anak, ataupun juga mungkin karena perasaan rindu yang begitu sangat, kini, ziarahnya lebih sebagai upaya penepatan janjinya pada ibu. Selain karena memang, hari ini adalah tepat hari dan tanggal kematian Ibu.
”Ibu, aku datang. Kutepati janjiku,” bisikkku pelan.
Setiap kali ziarah ke sini, Abi memang seperti berdialog dengan ibu. Dia bisa merasakan hangat senyum ibu ketika menyambut kedatangannya. Pun dia bisa merasakan hangat nafasnya ketika peluk tubuh perempuan itu mencoba merapat ke tubuh Abi.
”Kupikir tidak ada lain yang bisa kulakukan untuk mengobati rinduku pada ibu, selain dengan ziarah ini,” simpulnya.
Di kesehariannya, Abimanyu dikenal pendiam. Sangat sulit untuk menggali informasi apapun dari mulutnya. Itulah Abimanyu, seorang kstaria pembuka hutan Pulau Jawa yang dikenal sebagai tokoh rupawan yang tak banyak bicara. Begitu sindir kawan-kawannya.
”Sebisa mungkin, masalahku, dan apapun yang berkaitan dengan diriku, adalah urusanku, dan bukan urusan orang lain,” pikir Abi selalu.
Tapi, biar bagaimanapun, ternyata dia pun mengakui kalau dirinya adalah manusia normal. Segala masalah yang ada di dalam dadanya, suatu ketika memang seperti harus dibuncahkan. Mulutnya pun seolah tak mampu lagi menahan semua persoalan itu. Tapi apa daya, ternyata Abi tak lagi punya cadangan kata-kata untuk mengutarakannya.
Maka, gundukan tanah inilah jawaban dari segala persoalan. Satu-satunya cara adalah memang dengan menumpahkan segalanya melalui bisik batin, yang dibisikkannya kepada ibu. Ya. Hanya ibu yang dia percaya untuk mendengarkan semua yang keluar dan membuncah dari dalam dadanya. Oleh karena itulah sejak kematiannya, pusara ibu, merupakan tempat yang paling sering dia datangi, meski hanya untuk sekadar berkeluh kesah.
”Dengan begitu, aku merasa seperti berdialog dengan beliau,” jawabnya setiap ada pertanyaan mengenai seringnya dia mengunjungi makam itu.
Tidak jarang, saran-saran yang didengarkannya dari suara yang entah dari mana datangnya, merupakan solusi dari segala permasalahan. Tidak terkecuali soal Ganis. Rengganis nama panjangnya.
***
Kalau tak salah, 4 tahun lalu, sebelum ibu meninggal, tepatnya, saat beliau menahan aliran nafasnya untuk tidak dulu meninggalkan tenggorokannya, dengan sangat jelas aku masih ingat permintaannya waktu itu, yakni ingin melihat calon istriku.
”Ibu ingin memberikan restu, nak,” kucoba mengingat permintaannya waktu itu.
Barulah, setelah kubisikkan beberapa kata untuk menenangkannya, beliaupun melepas nafas terakhirnya. Sontak kamar mendadak pecah oleh raungan tangis seluruh keluarga.
Setahun setelah kepergian ibu, barulah aku bertemu Ganis. Aku mengenal perempuan bermata bulat itu saat aku bekerja sebagai salah satu supervisor di salah satu hotel bintang 4 di kotaku. Ketika itu, dia bekerja sebagai salah satu karyawan casual di sana.
Dengan seragam hitam-putih, serta rambut yang disanggul rapi, membuat mata bulatnya tampak begitu penuh. Setitik hitam di sudut kanan atas bibirnya yang tengah tersenyum seperti terasa begitu memabukkan, setidaknya buatku.
Belum lagi lekuk tubuhnya. Seperti kekuatan kutub yang saling berlawanan, dengan kemeja yang menempel ketat di kulitnya, membuat lekuk tubuh yang kurus itu begitu saja menarik arah kedua bola mataku.
Jika orang Jawa sepertiku biasanya gemar pada tubuh perempuan yang gemol, namun sepertinya demi perempuan bermata bulat itu, sejenak prinsip kejawaan harus rela kutinggalkan. Tubuh kurus yang terbalut kemeja putih kini benar-benar meruntuhkan segala prinsip kejawaanku. Tak lagi aku bermimpi soal perempuan sempurna bertubuh gemol, namun tubuh kurus berkemeja putih itulah yang selalu mengisi ruang dalam tidurku.
Sejak pertama berkenalan, seperti tak tersirat satupun keraguan di hati kami untuk segera memutuskan hidup bersama. Alhasil, tak lama setelah saling mengenal, sebuah cincin sudah tampak melingkar di jari kami.
”Itu artinya, kami sudah menikah, ibu,” bisikku sambil terus mengelus gundukan tanah makam ibu di depanku.
Awalnya aku memang sempat ragu untuk memilihnya sebagai pilihan terakhir. Lebih-lebih keraguan itu disebabkan karena namanya. Betapa tidak, nama Rengganis sangat tidak asing bagiku. Nama itu pernah begitu dekat denganku, terlebih ketika aku disibukkan dengan sebuah penelitian terkait legenda nama itu.
Jika teringat dengan penelitian itu, sontak bulu di tengkukku berdiri. Betapa tidak Rengganis adalah ratu para danyang yang menghuni hampir 70 persen hutan di Pegunungan Hyang dengan puncak Rengganis sebagai istananya. Merinding juga ketika membayangkan sosok danyang kuda berkepala manusia yang kerap muncul di hutan pegunungan itu yang merupakan salah satu jelmaan dari pasukan perempuan yang merupakan mantan selir Prabu Brawijaya itu.
Meski begitu, setidaknya seutas benang merah kutarik sekadar sebagai pembenaran atas pilihanku kepada Ganis.
"Mereka berdua sama-sama cantik. Makhluk yang sempurna,” kenangku ketika memutuskan memilih Ganis.
Nyaris tak ada kendala serius dalam hubungan kami. Bahkan ketika aku memutuskan untuk keluar dari pekerjaan di hotel itu. Bekerja sebagai supervisor memang terasa sangat membosankan bagiku. Setidaknya dengan alasan itulah, aku meninggalkan pekerjaan di hotel itu, hingga kini aku bekerja sebagai content writer di salah satu perusahaan periklanan di kota tempatku tinggal.
Justru itulah yang begitu kubanggakan dari Ganis. Dengan gajiku kini yang bisa dikatakan 2 kali lebih kecil dari pekerjaan sebelumnya, dia masih mencoba untuk terus bertahan.
”Itu yang membuatku bangga kepadanya, ibu,” gumamku tanpa sadar.
Memang, nyaris tak ada pertengkaran antara kami berdua. Nyaris tak pernah ada kendala bagi kami dalam menjalani hari-hari kami. ”Kami begitu menikmati hari-hari kami di rumah peninggalanmu, bu,” ucapku tiba-tiba bersemangat.
Hanya saja, satu-satunya kendala kami adalah tak adanya seorang pun dari keluargaku yang setuju dengan pernikahan kami, meski pada akhirnya mereka pun menerima kehadiran Ganis. Alasannya cukup masuk akal, yakni karena kondisi Ganis yang setahun lalu divonis menderita kanker leher rahim stadium 3+.
Awalnya memang terasa sangat berat. Betapa tidak, tak pernah Ganis bercerita padaku soal penyakit itu. Tak pernah Ganis mengatakan soal keluhan di leher rahimnya. Tak pernah Ganis bercerita tentang itu semua. Tak pernah. Tak pernah sekalipun dia cerita.
”Aku tidak ingin kehilanganmu, katanya. Itulah alasan dia tidak mengatakan apapun padaku, ibu,” keluhku.
Memang, entah dimana otakku waktu itu. Segala kecerdasanku seperti dibuat mati oleh kecantikannya. Tapi yang pasti, yang aku tahu, aku telah memilihnya, lengkap dengan segala konsekuensinya.
”Aku sadar, usianya tidak panjang. Mungkin itulah alasanku untuk menikahinya, ibu,” bisikku lagi.
Meski firasatku mengatakan begitu, namun itu sama sekali tidak mengurangi gumpalan rasa di dadaku padanya yang semakin hari semakin membesar, apalagi setelah kulihat wajahnya yang semakin tirus dan tubuhnya yang dilahap kurus.
Sekali pun tak pernah terlintas olehku, untuk meninggalkannya, meski kutahu, di luar sana, semua orang menganggap aku telah mengambil sebuah keputusan yang luar biasa salah.
”Apa salahnya seorang yang memiliki jabatan tinggi di sebuah hotel berbintang, beristrikan seorang perempuan yang hendak memasuki ajal,” tanyaku dalam hati.
Ternyata dugaanku tidak meleset. Di tahun kedua perikahan kami, penyakitnya mulai terlihat. Aku masih ingat, ketika suatu pagi, tiba-tiba dia terjatuh saat memasak. Tak berapa lama, dokter yang merawatnya pun memvonis, kanker leher rahim yang diderita Ganis pun sudah mencapai stadium 3+. Itu artinya, perawatan intensif, mutlak diberikan kepada Ganis.
”Sudah kuminta dia untuk mengalah dan mengikuti semua prosedur pengobatan. Tapi dia tak mau, ibu,” keluhku yang kali ini dengan suara lebih keras.
***
Sebuah ruang dengan aroma penicilin yang pekat, kelambu dan segala yang berwarna putih kelabu. Tubuh Ganis terkapar di atas ranjangnya. Dewi seribu danyang itu seperti tak kuasa menahan leher rahimnya dikuasai oleh kanker ganas. Hanya suara desah nafasnya yang sesekali terdengar saat ruang menyepi.
Aku seperti tengah berbaring di sebuah puncak gunung dengan istana yang terbuat dari tumpukan puluhan, bahkan ratusan andesit dan batu kapur. Sedang di luar sana, langit tampak lembayung dan murung.
Kulihat ratusan makhluk beragam bentuk tertunduk. Tak satupun dari mereka berani mengangkat wajahnya. Aku bisa merasakan kesedihan di mata mereka yang terus menunduk. Tapi perempuan ini, hanya perempuan ini yang tak pernah tampak sedih. Seutas senyum tetap menyungging di bibirnya. ”Sudahlah, nak. Ikutlah dengan ibu. Suamimu sudah mengikhlaskanmu. Aku ingin lebih dekat denganmu, menantuku,” bisiknya mendadak terdengar mengalun lembut di liang telingaku.
***
”Dia memilih untuk berkumpul denganmu ibu,” ujarku sambil meremas tanah yang ada di genggamanku.
Kuingat, selama 3 hari, tubuhnya mengejang kaku. Matanya terus terpejam, meski nafas masih mengalir di tenggorokannya. Setidaknya itu bisa kulihat dari sepasang buah dadanya yang tampak mengembang-kempis. Selang oksigen seperti membungkam mulutnya. Beberapa jarum menembusi lengannya dan dari selang kecil dialirkannya cairan nutrisi ke dalam tubuh Ganis.
Tak ada yang lebih menyedihkan buatku saat melihat tubuhnya di bungkus dengan selang dan jarum seperti itu. Meski begitu, kulihat senyum dari bibirnya yang mengatup. Kulihat cerah sinar dari matanya yang terpejam. Itulah yang membuatku bangga akan dirinya.
”Dia begitu tegar, ibu. Begitu tegar. Seperti dirimu dulu,” ujarku sambil kembali mengelus nisan di pusara ibu.
Seperti yang kau minta, Ibu. Aku membawa Ganis padamu.
”Perkenalkan, ibu. Ini Ganis, istriku,” ujarku pelan.
Memang, tak ada yang lebih indah saat melihat kalian, Ibu dan Ganis bertemu dan bersatu. Ibu, selamat ulang tahun. Maafkan aku, ibu, karena harus membuatmu menunggu lama hanya untuk sebuah permintaan kecil semacam itu.
Semoga jenazah perempuan bermata bulat berbungkus kain putih yang tergolek kaku di sisi pusaramu itu, menjadi kado terindah dari aku, anakmu.
***
Oleh: Arief Junianto
Biodata: A.Junianto, lahir di Surabaya, 4 Juni 1984. Aktif di komunitas Studi Seni dan Sastra CDR (Cak Die Rezim) Surabaya. Selain itu, aktif juga di Komunitas Pegiat Seni dan Sastra LIMA Jogjakarta. Hingga kini karya-karyanya banyak terdapat di beberapa antologi bersama, seperti Monolog Kelahiran (Sasindo Unair, 2003), Senjakala (Lima, 2005), dan Ruang Hitam (Lima, 2006), Mozaik Ingatan (CdR, 2010) Karya-karyanya juga banyak dimuat di beberapa media cetak dan online lokal maupun nasional seperti, Bali Post, Suara Karya, Kedaulatan Rakyat, Lampung Post, dan Surabaya Post.
Sumber: http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/03/08/kado-untuk-ibu-535332.html
Rating: 4.5 Reviewer:
ItemReviewed:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar